Aborsidalam Ajaran Gereja Katolik 3 November 2018 23:16 yakni dengan cara menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup diluar tubuh ibu atau kira-kira sebelum berat janin mencapai setengah kilogram. Pada dasarnya perkawinan menurut kodratnya terarah pada kelahiran anak. Maka tindakan membunuh anak adalah suatu perbuatan yang jahat
Abstract Perkawinan merupakan bagian dari dimensi kehidupan yang bernilai ibadah sehingga menjadi sangat penting. Manusia yang telah dewasa, dan sehat jasmani serta rohaninya pasti membutuhkan teman hidup untuk mewujudkan ketenteraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga. Realitas kehidupan masyarakat tidak dapat dihindari adanya hamil diluar nikah. Hamil diluar nikah adalah tindakan yang pada dasarnya sangat tidak dianjurkan oleh agama, karena agama mengajarkan manusia pada kebajikan, namun demikian praktek ini masih banyak kita jumpai di dalam penelitian ini adalah 1 Mengapa terjadi perbedaan mengenai pernikahan hamil di luar nikah antara Kompilasi Hukum Islam KHI dan Hukum Islam HI?; 2 Bagaimana status hukumpernikahanwanitahamilakibatzinadenganlaki-laki yang menghamilinyamenurutKompilasi Hukum Islam KHIdanfiqih Islam?.Kesimpulan dari penelitian ini adalah 1 Menurut KHI bahwa wanita yang hamil di luar nikah bisa langsung di nikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa menunggu wanita itu melahirkan kandugannya. Sedangkan berdasarkan hukum Islam dalam hal ini pendapat Imam Malik dan Ahmad bin Hambali yang mengatakan tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki sampai dia melahirkan kandungannya. Perbedaan tersebut terjadi karena di pengaruhi oleh perbedaan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadis yang digunakan dalam menafsirkan permasalahan pernikahan hamil di luar nikah. KHI menjelaskan pernikahan hamil di luar nikah berdasarkan dalil Al-Qur'an surat An-nur ayat 3, Mazhab Syafi'i dan Hanafi, pendapat Abu Bakar, Umar dan Ibnu Abbas. Sedangkan Hukum Islam menggunakan dalil Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 176, surat At-Talaq ayat 4, Mazhab Maliki dan Ahmad bin Hambal; 2 KHI membolehkan menikahi wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya, menurut hukum Islam status hukum pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya pun terjadi perbedaan pendapat diantara ke empat mazhab. Mazhab Hanafi dan Syafi'i membolehkan pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya. Mazhab Maliki dan Hanbali melarang pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya.
DalamGereja Katolik, berbicara mengenai perkawinan dan hidup berkeluarga tidak terlepas dari unsur cinta. Hamil diluar nikah adalah aib dan melanggar norma kesusilaan. Ketiga, alasan kesehatan terutama untuk menghindari penularan penyakit kelamin dan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak serta penanggulangan masalah kesehatan
- Menikah adalah impian bagi setiap orang, dan merupakan salah satu sunnah Rasulullah SAW yang merupakan ibadah seumur hidup. Ada banyak alasan seseorang dalam menikah, seperti misalnya sudah siap lahir batin. Namun ada kalanya seseorang menikah karena hamil, atau sering disebut juga nikah karena kecelakaan atau MBA married by accident. Lantas, apakah hukum menikah karena hamil duluan akibat zina sama dengan menikah pada umumnya? Ustaz Abdul Somad dalam sebuah majelis mendapatkan pertanyaan mengenai bagaimana hukum menikah karena hamil. Melansir kanal YouTube Teropong Islam, inilah hukum menikah karena hamil menurut Ustadz Abdul Somad. Dalam video yang diunggah pada 20 November 2017 lalu, ustaz yang akrab disapa UAS ini juga menjelaskan bagaimana nasib anak di luar nikah dalam Islam. Ustadz Abdul Somad mengatakan bahwa orang yang menikah karena hamil, maka status pernikahannya adalah sah, baik secara agama maupun negara. Menikah karena hamil atau menikah biasa tidak ada yang berbeda hukumnya, yaitu sama-sama sah menurut Ustadz Abdul Somad. Baca Juga Pilu, Jasad Bayi Tak Berdosa Ditemukan di Tempat Sampah di Cakung, Pelaku Malu Hamil Duluan Namun bagi orang yang menikah karena hamil, setidaknya ada 4 hal yang harus diperhatikan yang berhubungan dengan nasib anaknya. Hukum Menikah Karena Hamil Duluan, dan Bagaimana Nasib Anak Menurut Islam? Ini Kata UAS. Ilustrasi ibu hamil UnsplashAda 4 ketentuan nasib anak di luar nikah dalam Islam menurut Ustadz Abdul Somad, di antaranya adalah sebagai berikut Anak di luar nikah tidak boleh memakai bin nama bapaknya. Namun, anak yang lahir di luar nikah harus menggunakan bin ibunya, meskipun sang bapak sudah menikahi anak yang lahir di luar nikah adalah laki-laki, maka anak tersebut tidak bisa menjadi wali bagi adik-adik perempuannya. Pasalnya, yang bisa menjadi wali adalah yang sedarah anak di luar nikah tersebut adalah perempuan, maka yang bisa menjadi walinya saat ia menikah nanti adalah hakim yang dulu menikahkan yang lahir di luar nikah juga tidak bisa mendapatkan harta penjelasan singkat seputar hukum menikah karena hamil menurut Ustadz Abdul Somad, lengkap dengan bagaimaba nasib anak di luar nikah yang perlu diketahui. Kontributor Rishna Maulina Pratama Baca Juga Heboh! Ibu Muda yang Hamil Ngidam Perutnya Dielus Hotman Paris
Dr Alberto Rivera, ex-pastor Jesuit (Serikat Yesus) membongkar skandal sex di dalam institusi Gereja Roma Katolik ketika ia menyadari bahwa institusi yang ia layani ini adalah tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab. Tahun 1985 ketika pertama kali saya dan teman satu universitas mendengar pengakuan pertobatan Dr. Alberto Rivera, kami mencari bukunya.
BerandaKlinikKeluargaBagaimana Hukumnya M...KeluargaBagaimana Hukumnya M...KeluargaSabtu, 18 Juni 2011Saya memiliki seorang pacar dan saat ini hamil. Namun, karena orang tua pacar saya tersebut tidak setuju akan hubungan kami, maka pacar saya tersebut dinikahkan dengan orang lain dan pernikahan tersebut dilakukan secara Islam. Bagaimana cara saya agar tetap dapat mendapatkan anak saya tersebut? Bagaimana jalan yang harus saya tempuh mengingat janin yang dikandungnya tersebut adalah benar-benar anak saya, upaya apa yang harus saya lakukan? Terima dasarnya anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya lihat Pasal 43 ayat [1] UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan - “UUP”. Hal yang sama juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam “KHI” bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya lihat Pasal 186 KHI.Menurut hukum, seorang perempuan yang hamil di luar perkawinan dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya lihat Pasal 53 ayat [1] KHI. Perkawinan wanita yang hamil di luar nikah dengan pria yang menghamilinya dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya lihat Pasal 53 ayat [2] KHI. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir lihat Pasal 53 ayat [3] KHI.Di sisi lain, KHI tidak mengatur secara eksplisit apakah perempuan yang hamil di luar nikah boleh dikawinkan dengan pria lain selain yang menghamilinya. Tapi, dari ketentuan Pasal 53 ayat 1 KHI secara tidak langsung membuka kemungkinan perempuan yang hamil di luar nikah untuk tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya atau dikawinkan dengan pria selain yang menghamilinya. Karena, norma hukum yang ada dalam pasal tersebut bersifat kebolehan menggunakan frasa “dapat” dan bukan keharusan. Jadi, wanita yang hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan pria yang tidak menghamilinya. Namun, menurut hemat kami, dalam hal ini si perempuan terlebih dahulu harus memberi tahu mengenai kehamilannya tersebut kepada si calon suami. Atau jika kita melakukan penafsiran secara a contrario terhadap ketentuan Pasal 53 ayat 2 KHI, maka perkawinan perempuan yang hamil di luar nikah dengan pria yang tidak menghamilinya harus menunggu sampai si perempuan dengan keinginan Anda untuk mengakui anak tersebut, berikut ini pendapat kami1. Anak tersebut dapat diklaim sebagai anak Anda apabila suami dari mantan pacar Anda memang menolak untuk mengakui anak tersebut. 2. Pada dasarnya, anak yang lahir dalam perkawinan, akan sulit diakui, yang bisa Anda lakukan adalah memohonkan kepada pengadilan untuk menetapkan bahwa anak tersebut adalah anak biologis Anda. Hal ini tentunya memerlukan mekanisme pembuktian secara medis yaitu dengan tes deoxyribonucleic acid DNA.Demikian jawaban dari kami, semoga dapat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan2. Kompilasi Hukum Islam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline. Tags
2 Pengaruh media, hal tersebut menunjukkan bahwa media sangat berpengaruh terhadap perilaku seks pra nikah. 3) Rendahnya nilai-nilai iman dan ketaqwaan, 4) Kurang pengawasan dan 5) Pengaruh lingkungan pergaulan. Untuk mengatasi prilaku seks dikalangan pelajar ajaran agama dapat dijadikan sumber ajaran moral yang dapat dijadikan dasar bagi
PERNIKAHAN HAMIL DI LUAR NIKAH DALAM PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM KHI DAN FIQIH ISLAM DI KANTOR URUSAN AGAMA STUDI KASUS DI KOTA KUPANGAbstraksiPerkawinan merupakan bagian dari dimensi kehidupan yang bernilai ibadah sehingga menjadi sangat penting. Manusia yang telah dewasa, dan sehat jasmani serta rohaninya pasti membutuhkan teman hidup untuk mewujudkan ketenteraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga. Realitas kehidupan masyarakat tidak dapat dihindari adanya hamil diluar nikah. Hamil diluar nikah adalah tindakan yang pada dasarnya sangat tidak dianjurkan oleh agama, karena agama mengajarkan manusia pada kebajikan, namun demikian praktek ini masih banyak kita jumpai di dalam penelitian ini adalah 1 Mengapa terjadi perbedaan mengenai pernikahan hamil di luar nikah antara Kompilasi Hukum Islam KHI dan Hukum Islam HI?; 2 Bagaimana status hukumpernikahanwanitahamilakibatzinadenganlaki-laki yang menghamilinyamenurutKompilasi Hukum Islam KHIdanfiqih Islam?.Kesimpulan dari penelitian ini adalah 1 Menurut KHI bahwa wanita yang hamil di luar nikah bisa langsung di nikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa menunggu wanita itu melahirkan kandugannya. Sedangkan berdasarkan hukum Islam dalam hal ini pendapat Imam Malik dan Ahmad bin Hambali yang mengatakan tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki sampai dia melahirkan kandungannya. Perbedaan tersebut terjadi karena di pengaruhi oleh perbedaan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadis yang digunakan dalam menafsirkan permasalahan pernikahan hamil di luar nikah. KHI menjelaskan pernikahan hamil di luar nikah berdasarkan dalil Al-Qur'an surat An-nur ayat 3, Mazhab Syafi'i dan Hanafi, pendapat Abu Bakar, Umar dan Ibnu Abbas. Sedangkan Hukum Islam menggunakan dalil Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 176, surat At-Talaq ayat 4, Mazhab Maliki dan Ahmad bin Hambal; 2 KHI membolehkan menikahi wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya, menurut hukum Islam status hukum pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya pun terjadi perbedaan pendapat diantara ke empat mazhab. Mazhab Hanafi dan Syafi'i membolehkan pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya. Mazhab Maliki dan Hanbali melarang pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang 0 kaliDiunduh 0 kali
HamilDiluar Nikah . Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut Agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan, bagi yang beragama Katolik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS)." Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak
ArticlePDF Available AbstractPerkawinan merupakan bagian dari dimensi kehidupan yang bernilai ibadah sehingga menjadi sangat penting. Manusia yang telah dewasa, dan sehat jasmani serta rohaninya pasti membutuhkan teman hidup untuk mewujudkan ketenteraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga. Realitas kehidupan masyarakat tidak dapat dihindari adanya hamil diluar nikah. Hamil diluar nikah adalah tindakan yang pada dasarnya sangat tidak dianjurkan oleh agama, karena agama mengajarkan manusia pada kebajikan, namun demikian praktek ini masih banyak kita jumpai di dalam penelitian ini adalah 1 Mengapa terjadi perbedaan mengenai pernikahan hamil di luar nikah antara Kompilasi Hukum Islam KHI dan Hukum Islam HI?; 2 Bagaimana status hukumpernikahanwanitahamilakibatzinadenganlaki-laki yang menghamilinyamenurutKompilasi Hukum Islam KHIdanfiqih Islam?.Kesimpulan dari penelitian ini adalah 1 Menurut KHI bahwa wanita yang hamil di luar nikah bisa langsung di nikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa menunggu wanita itu melahirkan kandugannya. Sedangkan berdasarkan hukum Islam dalam hal ini pendapat Imam Malik dan Ahmad bin Hambali yang mengatakan tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki sampai dia melahirkan kandungannya. Perbedaan tersebut terjadi karena di pengaruhi oleh perbedaan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis yang digunakan dalam menafsirkan permasalahan pernikahan hamil di luar nikah. KHI menjelaskan pernikahan hamil di luar nikah berdasarkan dalil Al-Qur’an surat An-nur ayat 3, Mazhab Syafi’i dan Hanafi, pendapat Abu Bakar, Umar dan Ibnu Abbas. Sedangkan Hukum Islam menggunakan dalil Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 176, surat At-Talaq ayat 4, Mazhab Maliki dan Ahmad bin Hambal; 2 KHI membolehkan menikahi wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya, menurut hukum Islam status hukum pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya pun terjadi perbedaan pendapat diantara ke empat mazhab. Mazhab Hanafi dan Syafi’i membolehkan pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya. Mazhab Maliki dan Hanbali melarang pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. PERNIKAHAN HAMIL DI LUAR NIKAH DALAM PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM KHI DAN FIQIH ISLAM DI KANTOR URUSAN AGAMA STUDI KASUS DI KOTA KUPANGAladinProgram PascaSarjana Universitas Nusa Cendana aladintesis46 marriage is an act that is basically not recommended by religion, because religion teaches people to virtue, but this practice is still a lot we encounter in problems in this study are 1 Why is there difference of marriage of pregnant marriage between Compilation of Islamic Law KHI and Islamic Law HI ?; 2 What is the legal status of marriage law of pregnant women due to adultery with men who impregnate her according to Islamic Law Compilation KHI and Islamic fiqih ?.The conclusions of this study first According to KHI that women who become pregnant out of wedlock can be directly married to men who impregnate her without waiting for the woman to give birth to her ingredients. Second, KHI allows to marry pregnant women due to adultery with men who impregnate him, according to Islamic law the legal status of marriage of pregnant women due to adultery with men who impregnate him there is a difference of opinion among the four schools. Keywords Pregnancy Marriage, KHI, Fiqh diluar nikah adalah tindakan yang pada dasarnya sangat tidak dianjurkan oleh agama, karena agama mengajarkan manusia pada kebajikan, namun demikian praktek ini masih banyak kita jumpai di dalam penelitian ini adalah 1 Mengapa terjadi perbedaan mengenai pernikahan hamil di luar nikah antara Kompilasi Hukum Islam KHI dan Hukum Islam HI?; 2 Bagaimana status hukumpernikahanwanitahamilakibatzinadenganlaki-laki yang menghamilinyamenurutKompilasi Hukum Islam KHIdanfiqih Islam?.Kesimpulan dari penelitian ini adalah pertama,menurut KHI bahwa wanita yang hamil di luar nikah bisa langsung di nikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa menunggu wanita itu melahirkan kandugannya. Kedua, KHI membolehkan menikahi wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya. Mazhab Hanafi dan Syafi'i membolehkan pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya. Mazhab Maliki dan Hanbali melarang pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya. Kata Kunci Pernikahan Hamil, KHI, Fiqih PendahuluanKetentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan LNRI Th 1974 No. 1; TLN No. 3019 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Kementerian Agama Republik Indonesia menetapkan, bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dalam penjelasan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan itu dijelaskan, bahwa Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali de n g a n ag am a / k er o h a ni a n s e h i ng g a perkawinan bukan saja mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, Pemeliharaan dan Pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang t u a . B e r d a s a rkan Penjelasan itu, perkawinan bukan sekedar 23912p-ISSN 2086-2695, e-ISSN 2527-4716Masalah - Masalah Hukum, Jilid 46 No. 3, Juli 2017, Halaman 239-248 hubungan yang bersifat perdata belaka, tetapi mengandung dimensi agama atau ker o h a nian yang me n g i mplikasikan bekerjanya peran agama dalam kehidupan keluarga, termasuk dalam pemeliharaan dan pendidikan dalam keluarga. Penjelasan itupun menekankan peran agama dalam keluarga dalam kaitan dengan hak dan kewajiban orang tua, sehingga orang tua harus merawat dan mendidik anak-anaknya sesuai dengan agama yang menetapkan pernikahan sebagai wahana membangun rumah tangga Islami. Dengan pernikahan, pergaulan antara pria dan wanita sebagai suami isteri terjalin dengan terhormat, hasrat psikis biologis tersalurkan, kepuasan dan kebahagiaan psikis emosional dapat tercapai sesuai fitrah dan kodrat insasni. Pernikahan mempunyai beberapa tujuan, di antaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani kebutuhan biologis dan rohani, sekaligus untuk membentuk keluarga yang merupakan sarana untuk meneruskan dan memelihara keturunan yang jelas, karena Islam sangat menjaga kemurnian keturunan Khoirudin Nasution, 2004.Pernikahan wanita hamil akibat zina dipe n garu h i o l eh f akt o r y a ng s anga t kompleks antara lain kondisi ekonomi, latar belakang pendidikan, interaksi sosial, dan pemahaman nilai terhadap norma-norma agama. Akibat dari ketidakmampuan ini banyak remaja berani melakukan hubungan badan sebelum dengan mahluk-mahluk Allah yang lain, dalam mendapatkan pasangannya manusia dikenakan syarat-syarat khusus. Syarat-syarat tersebut terkumpul dalam sebuah akad yang dinamakan pernikahan. Tentunya perbedaan ini disebabkan karena Allah telah memberikan keistimewaan yang sangat besar kepada manusia, yaitu akal dan hati. Diharapakan pula dengan akal dan hati te rs eb u t ma nu si a da p a t m en em uk an pasangannya secara halal dan bisa menjadi pasangan yang sakinah, mawaddah dan sangat dianjurkan oleh agama sebagaimana banyak termuat dalam al-Qur'an dan al-Hadis. Ini seperti pendapat Hasbi Ash-S h iddie q y dala m b ukuny a H u k u m - H u ku m F iq h I sl a m k e ti k a memberikan pengertian tentang pernikahan yaitu “Nikah, suatu aqad syar'i ikatan keagamaan yang dianjurkan Syara” Ash-Shiddieqy, Hasbi, 1978.Ko mp i l a s i H u k u m I s l a m K H I memberikan pengertian tentang pernikahan atau perkawinan dalam Pasal 2 “yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan u n t u k m e n t a a t i p e r i n t a h Al l a h d a n melaksa n a k annya m erupakan ibadah” Departemen Agama RI, 2000. Yang dituntut oleh agama adalah perkawinan yang sah. Karena dengan perkawinan yang sah itu diharapakan dapat terwujud keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Dengan mensyariatkan nikah, tentunya Allah juga mempunyai tujuan-tujuan. Dalam hal ini Yusuf Qadwhawi mengungkapkan, kalau sekiranya perkawinan itu tidak disyariatkan, tentu naluri seksual tidak dapat tersalurkan dan tidak dapat memainkan perannya dalam menjaga eksistensi manusia. Kalau sekiranya zina itu tidak diharamkan, hubungan seksual tidak dibatasi hanya oleh laki-laki dan wanita tertentu yang diikat tali pernikahan, niscaya tidak terwujudlah keluarga yang membangun perasaan sosial yang luhur, berupa cinta dan kasih sayang. Kalau tidak ada keluarga tentu tidak terbentuk suatu masyarakat, bahkan tidak ada usaha ke arah yang lebih baik lagi sempurna Qardhawi, Yusuf, 2003.Persoalanya, bahwa dalam realitas ke hidupan masyarakat tidak dapat dihindari adanya hamil di luar nikah. Hamil di luar nikah adalah tindakan yang pada dasarnya sangat tidak dianjurkan oleh agama, karena agama mengajarkan manusia pada kebajikan, namun demikian praktek ini masih banyak kita jumpai di a tan Al a k dan K e camat a n Ke la pa L im a me ru pa ka n sa la h sa t u kecamatan yang masyarakatnya banyak menganut agama Islam, sehingga kedua kecamatan ini banyak melakukan/pencatatan peristiwa-peristiwa nikah secara Islam. Adapun data-data peristiwa nikah yang dilakukan tiga tahun terakhir sebagai berikut 240Masalah - Masalah Hukum, Jilid 46 No. 3, Juli 2017, Halaman 239-248 Pada tahun 2013 tercatat 170 peristiwa nikah di kecamatan Kelapa Lima dengan rincian 143 peristiwa adalah pernikahan hamil di luar nikah, dan 27 peristiwa adalah perawan. Pada tahun 2014 tercatat 163 peristiwa nikah dengan rincian 140 peristiwa pernikahan hamil diluar nikah, 23 peristiwa adalah perawan. Pada tahun 2015 tercatat ada 160 pe r i s ti wa ni k a h d en g an r i n c ia n 1 40 pernikahan hamil diluar nikah, dan hanya 20 peristiwa saja dikategorikan perawan. Demikian halnya dengan kecamatan Alak. Data tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa ba n y a k sekali p e r i stiwa nika h pernikahan hamil di luar nikah yang tercatat di kecamatan Alak. Pada tahun 2013 tercatat 110 peristiwa nikah dengan rincian 85 peristiwa adalah pernikahan hamil diluar nikah, 25 peristiwa adalah perawan. Pada tahun 2014 tercatat 130 peristiwa nikah deng a n ri n cian 120 p eris t iwa adala h pernikahan hamil di luar nikah dan 10 peristiwa adalah perawan. Pada tahun 2015 tercatat 120 peristiwa nikah dengan rincian 100 peristiwa adalah pernikahan hamil di luar nikah, 20 peristiwa adalah perawan. Tujuan yang akan dicapai adalah untuk mengetahui perbedaan mengenai pernikahan hamil di luar nikah antara Kompilasi Hukum Islam KHI dan Hukum Islam HI dan status hukum pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya menurut Kompilasi Hukum Islam KHI dan fiqih Islam. Permasalahan yang diajukan adalah 1. Mengapa terjadi perbedaan mengenai pernikahan hamil di luar nikah antara Kompilasi Hukum Islam KHI dan Hukum Islam HI?2. Bagaimana status hukum pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya menurut Kompilasi Hukum Islam KHI dan fiqih Islam?Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan studi kasus, konseptual , doktrinal / u n dang-undang , yuridis empiris. Jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari tempat penelitian yang berasal dari responden m e l a l u i w a w a n c a r a l a n g s u n g y a n g berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan maupun dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemdian diolah peneliti. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokemen resmi, baik berupa buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, jurnal, dan peraturan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan perundangan yang terkait dengan obyek penelitian. Bahan hukum sekunder adalah buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah yang terkait pula dengan obyek penelitian ini. Bahan hukum tertier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan sebagainya. Bahan hukum yang diperoleh selanjutnya diolah menggunakan metode Edi t ing , C o ddi n g, P ent a bul a si a n, d an Verifikasi data. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data dengan menggunakan metode yuridis kualitatif dan preskriptif yang berpedoman pada metode interpretasi dan konstruksi sesuai dengan teori, asas, dan kaidah hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang di Hasil dan Pembahasan1. Terjadinya Perbedaan Pandangan d a n P e n g e t a h u a n M e n ge na i Pernikahan Hamil di Luar Nikah Antara KHI dan Hukum IslamNegara Indonesia merupakan negara huku m y a n g m ayor i tas pend u duk n ya beragama Islam adalah merupakan realitas sosial, karena itu sangat relevan apabila hukum Islam dijadikan sumber rujukan dalam pembentukan hukum-hukum nasional. Maka peran ulama dan ilmuwan yang concern terhadap Islam sangat diperlukan Tono, Muttaqien, 19991 Muttaqien, Dadan & Tono, Sidik Ed,1999Berangkat dari pemahaman bahwa Islam adalah agama yang kaffah dalam segala ha l di bandingk an d engan agama yang 241Aladin, Pernikahan Hamil di Luar Nikah lainnya, maka di sinilah dibutuhkan sebuah kreatifitas bagi penganutnya untuk menggali aj a r a n - aj ar a n y a n g a da u nt u k t e r u s dikembangkan agar eksistensi agama tidak hilang atau mati. Pembaharuan-pembaharuan dilakukan yang pasti tidak menyimpang dari tujuan syari'ah. Dengan demikian proses perkembangannya tidak menyalahi pesan yang ingin disampaikan oleh ajaran Islam. Juga mengingat di dalam Islam tidak hanya ada ajaran ketuhanan atau teologi akan tetapi juga ada dimensi hukum yang memperbaiki hubungan antara individu, Hukum Islam merupakan hukum materiil dari salah satu di antara hukum positif yang berlaku di Indonesia. Berlakunya Kompilasi Hukum Islam tersebut berdasarkan Instruksi Presiden Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Disebutkan bahwa kompilasi ini dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam penyelesaian masalah-masalah di bidang yang diatur oleh kompilasi, yaitu huku m per k a wina n , ke w a risa n , perwakafan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang t uhan akan adan y a KH I di Indonesia se b a g a i upaya me m p e r o l e h kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara bagi para hakim di lingkungan peradilan agama, sudah lama dirasakan oleh Departemen Agama. Bahkan sejak adanya peradilan agama di Indonesia, keperluan ini tidak pernah hilang, bahkan b e r k e m b a n g t e ru s s ej a l a n d e n g a n perkembangan b adan. Lata r belakang penyusunan KHI yang tidak mudah untuk dijawab secara singkat. Pembentukan KHI ini mempunyai kaitan yang erat sekali dengan kondisi hukum Islam di Indonesia ketika itu. Hal ini penting untuk ditegaskan mengingat sampai saat ini belum ada suatu pengertian yang disepakati tentang hukum Islam, yang masing-masing dilihat dari sudut pandang yang e h ad ir a n K H I d i I n d on e si a merupakan suatu rangkaian sejarah hukum nasional yang merupakan makna kehidupan masyarakat Islam Indonesia yang diantaranya adanya norma hukum. KHI ini disepakati oleh para Alim Ulama Indonesia, bahkan KHI juga merupakan suatu rangkaian hukum tertulis dan masuk dalam Tata Hukum Indonesia melalui instrument Inpres No. 1/1991, kehadiran KHI merupakan sebuah alternatif dan tidak harus disepakati oleh para hakim aga m a d ala m m e ne r ima , m e mer i ks a , mengadili dan menyelesaikan suatu perkara yang diajukan m mater i i l yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama ialah Hukum Islam yang dalam garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Kewakafan. Hukum materiil tersebut tertulis antara lain dalam kitab-kitab fiqih yang banyak beredar di Indonesia. Berdasarkan Surat Edaran Kepala Biro Peradilan Agama tanggal 18 Pebruari 1958, kitab-kitab fiqih yang dijadikan pedoman hukum tersebut ialah bersumber pada 13 buah kitab fiqih yang semuanya bermazhab Syafi' Hermawan dan Sumardjo Dadang Hermawan dan Sumardjo, 2015 menjelaskan bahwa inpres dan Keputusan Mente r i Ag a m a, KH I ini me m p unya i kedudukan sebagai “ p e d o man” dalam putusan. Artinya sebagai petunjuk bagi hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan dan m e n y e l e s a i k a n p e r k a ra , t e r g an t u n g s e pe nu hn y a k e p a d a h a ki m u n t u k menggunakannya dalam putusan mereka masing-masing, sehingga KHI ini akan terwujud dan mempunyai makna serta landasan yang kokoh dalam yurisprudensi peradilan agama. Dengan demikian, maka hakim peradilan agama sekarang hanya berke w a jiban menera p kan k e tentu a n -ketentuan yang sudah ada atau yang sudah digariskan dalam KHI, akan tetapi hakim mempunyai peranan yang lebih besar lagi u n t u k m e n g e m b a n g k a n d a l a m melengkap i n y a mel a l u i putu s a n yang ditegaskan oleh Prof. Islamil Sunni dalam Dadang Hermawan dan Sumardjo Dadang Hermawan dan Sumardjo, 2015 KHI sebagai pedoman, landasan dan pegangan para hakim-hakim di Peradilan Agama, Pengadilan Tinggi dan Hakim-hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan 242Masalah - Masalah Hukum, Jilid 46 No. 3, Juli 2017, Halaman 239-248 memutuskan perkara-perkara yang menjadi wewenang Peradilan Agama. Sedang bagi ma s y a ra ka t y an g m em er l u k an d a p a t digunakan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan kesadaran hukumnya untuk m e l a k sa n a ka n b a i k d a l a m bi da n g perkawinan, pembagian warisan, kegiatan amal ibadah dan sosial kemasyarakatan dalam perwakafan, disamping peraturan perundang-undangan yang lain, terutama sumber hukum Al-Qur'an dan a t a n KHI dijadikan sebagai sumber hukum materiil dilandasi oleh Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam itu dasar hukumnya adalah pasal 4 ayat 1 UUD 1945, yaitu “Kekuasaan Presiden untuk memegang Pemerintahan Negara”. Juga sebagaimana telah dijelaskan di BAB II dimana sumber hukum KHI yang salah satunya adalah Al-Qur'an dan Hadits yang tidak perlu diragukan lagi Austin hukum harus dipahami dalam arti perintah karena hukum seharusnya tidak memberi ruang untuk memilih apakah mematuhi atau tidak mematuhi. Hukum bersifat non optional. Karena itu, mengkritik para penganut teori hukum kodrat Austin menegaskan bahwa hukum bukan setumpuk peraturan atau nasihat moral. Hukum dalam arti terakhir ini tidak punya implikasi hukuman apapun. Ketika hukum tidak lagi dapat dipaksakan , yakni pelanggarannya dikenai hukuman atau sanksi hukum, maka hukum tidak lagi dapat disebut hukum; atau hukum kehila n g an e s ensin y a seb a g ai perintah. Dengan demikian, kepatuhan pada hukum adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar. Menyebut perintah sebagai hukum tetapi dalam praktek tidak dapat ditegakkan melalui penerapan sanksi hukum adalah absurd, karena hukum yang demikian tidak mampu memenuhi fungsi sosialnya sebagai alat kontrol terhadap tingkah laku masyarakat. Padahal, demikian Austin, mengontrol perilaku masyarakat adalah fungsi ut a m a hukum. D a l a m arti in i , sebetulnya Austin sepakat dengan Aquinas yang juga melihat hukum sebagai alat kontrol sosial. Akan tetapi, berbeda dengan Aquinas yang melihat hukum tertuma sebagai hasil kerja rasio, Austin justru menekankan watak pe rintah hukum yan g be rsumber pad a kedaulatan penguasa. D a lam art i ini, pandangan hukum Aquinas lebih lunak dibandingkan dengan sebagai perintah, menurut Austin, memuat dua elemen dasar. Pertama, hukum s ebagai p erintah mengandun g pentingnya keinginan, yakni keinginan dari seorang penguasa bahwa seseorang harus melakukan atau menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu. Tentu saja, tidak semua keinginan mempunyai kekuatan sebagai hukum. Kalau saya ingin makan, misalnya, keinginan seperti ini pasti bukan hukum sifatnya. Karena itu, keinginan dalam arti hukum memiliki kekhususan, yakni bahwa “ p ih a k y a n g t e r k e n a h u ku m h a r us m e n a n g g u n g a k i b a t y a n g t i d a k menyenangkan atau membahayakan dari yang lain apabila gagal memenuhi hukum yang berlaku.” Dengan demikian, hukum dalam arti perintah yang mengungkapkan keinginan penguasa pada dasarnya memuat ancaman hukuman bagi siapa pun yang berada di bawah hukum yang berlaku. Kedua, hu k u m m em i l i ki k e m a mp u a n u nt u k m e n c i p t a k a n s e su a t u y a n g t i d a k menyenangkan atau bahkan membahayakan subjek yang melanggarnya. Individu yang terkena perintah dengan sendirinya terikat, wajib berada dibawah keharusan untuk me la k u k a n a pa y an g d i p e r in ta hk an . Kegagalan memenuhi tuntutan perintah akan berakibat bahwa subjek yang terkena perintah mendapat sanksi hukum Ujan Andre Ata Ujan, 2009 .Para ulama menggunakan dalil Al-quran dalam menentukan hukum status pernikahan wanita hamil, terutama bagi Imam Hanafi dan Imam Syafi'i, yaitu memahami Al-quran pada surah An-Nur ayat 3. Pandangan mazhab Maliki tentang hukum perkawinan dengan wanita hamil karena zina pada dasarnya membedakan antara perkawinan wanita hamil karena zina dengan laki-laki yang menghamilinya dan perkawinan wanita hamil karena zina dengan laki-laki yang tidak menghamilinya. Dalam kasus yang pertama, mazhab Malik memperbolehkannya, hal ini 191715243Aladin, Pernikahan Hamil di Luar Nikah berdasarkan pada surat an-Nur ayat 3. Lebih jauh ditegaskan bahwa, jika anak dalam kandungan wanita tersebut lahir sesudah enam bulan terhitung sejak dilakukan akad nikah, nasabnya ditetapkan kepada laki-laki yang menghamili dan sekaligus menikahinya. Tetapi, jika anak dalam kandungan wanita tersebut lahir kurang dari enam bulan terhitung sejak dilakukan akad nikah, nasab anak yang lahir itu hanya ditetapkan kepada ibunya, tidak kepada ayahnya, kecuali laki-laki yang menghamilinya sekaligus menikahi wanita hamil tersebut mengaku bahwa anak yang lahir itu sebagai anaknya Wahbah az-Zuhailii, 1985.Sementara itu KHI yang secara khusus dalam babnya mengatur pernikahan wanita hamil, yaitu bab VIII pasal 53 ayat 1, 2, dan 3, di dalamnya ditetapkan bahwa “wanita hamil di luar nikah dapat di nikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa harus menunggu kelahiran anak yang ada dalam kandungannya terlebih dahulu, dan perkawinan saat hamil tidak diperlukan lagi perk a wina n ul a n g s e tela h an a k y a ng dikandungnya lahir”.Dengan demikian perkawinan wanita hamil di luar nikah di tetapkan oleh KHI, bahwa wanita hamil di luar nikah dapat d i k a w i n k a n d e n g a n l a k i - l ak i y a n g menghamilinya, dan dapat ditafsirkan pula kata “dapat” bahwa wanita hamil di luar nikah dapat di kawinkan dengan laki-laki lain yang tidak perkawinan wanita hamil di luar nikah boleh dilakukan baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun laki-laki lain yang tidak me nghami linya ya ng ingin bertanggungjawab terhadap wanita tersebut, karena bisa jadi kehamilan itu bukan atas dasar perbuatan zina melainkan pemerkosaan terhadapnya yang dilakukan oleh laki-laki yang tidak jelas keberadaannya. Oleh sebab itu, wanita hamil di luar nikah boleh di nikahkan dengan laki-laki manapun yang mau bertanggungjawab, karena apabila wanita hamil tidak dapat di nikahkan dengan laki-laki lain yang tidak menghamilinya sedangkan laki-laki yang menghamilinya tidak bertanggungjawab, dan tidak dilaksanakannya pernikahan dalam batas-batas tertentu menimbulkan dampak psikologis bagi keluarga wanita rinci alasan perbedaan pendapat mengenai pernikahan hamil di luar nikah antara KHI dengan Hukum Islam. Peneliti uraikan pada tabel sebagai berikutBerdasarkan tabel tersebut di atas dapat diket a h ui b a h wa p e rbeda a n pen d a pat mengenai pernikahan hamil di luar nikah antara KHI dengan Hukum Islam terjadi karena di pengaruhi oleh perbedaan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadis yang digunakan dalam menafsirkan permasalahan pernikahan hamil di luar nikah. KHI menjelaskan pernikahan hamil di luar nikah berdasarkan dalil Al-Qur'an surat An-nur ayat 3, Mazhab Syafi'i dan Hanafi, pendapat Abu Bakar, Umar dan Ib n u Ab bas. Sedangka n Hukum Islam menggunakan dalil Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 176, surat At-Talaq ayat 4, Mazhab Maliki dan Ahmad bin Status Hukum Pernikahan Wanita Hamil Akibat Zina dengan Laki-laki yang Menghamilinya Menurut KHI dan Hukum IslamKasus kawin hamil di luar nikah secara khusus diatur dalam Pasal 53 KHI. Pasal tersebut menjelaskan tentang kebolehan melangsungkan perkawinan bagi wanita hamil di luar nikah. Meskipun demikian, ada ket e n tuan y ang h a r us di penuhi dalam perka w i n a n terse b u t , dianta r a n y a 1 Seorang wanita hamil di luar nikah bisa 244Masalah - Masalah Hukum, Jilid 46 No. 3, Juli 2017, Halaman 239-248 d i k a w i n k a n d e n g a n p r i a y a n g menghamilinya; 2 Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu k e l a h i r a n a n a k n y a ; 3 D e n g a n dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung e ntuan Pasal 53 KH I te ntang kebolehan melangsungkan perkawinan bagi wa n it a h a mi l i n i bis a d ika te g or i ka n kon t r oversial karena akan melahirkan perdebatan dan silang pendapat dari berbagai kalangan. Pendapat yang kontra tentu akan merasa keberatan dengan ketentuan ini yang dinilai longgar dan cenderung kompromistis. Bisa dimungkinkan ketentuan ini justru akan dijadikan payung hukum legalisasi a s al 5 3 K HI t e r s eb ut t i d a k memberikan sanksi atau hukuman bagi pezina, melainkan justru memberi solusi kepa d a s eseo r ang yang ham i l a k iba t perzinaan itu untuk segera melangsungkan pe r kawinan. Pad a hal dalam fiqh telah dijelaskan perihal hukuman terhadap pelaku zina, diantaranya jika pelaku zina itu sudah menikah zina muhsan hukumannya adalah didera seratus kali dan kemudian dirajam. Bagi pelaku zina yang belum menikah zina ghairu muhsan hukumannya adalah didera seratus kali dan kemudian diasingkan ke tempat lain selama satu tahun Asy Syaukani, 1994 550. Kendati demikian, ketentuan Pasal 53 KHI tersebut juga berpegangan pada alasan logis dan bisa dijadikan landasan hukum untuk diterapkan dalam tatanan kehidupan mas y ara k at di I ndo n esi a . K ebo l eha n melangsungkan perkawinan bagi wanita hamil menurut ketentuan Pasal 53 KHI, secara tegas dibatasi pada perkawinan dengan laki-laki yang tersebut berlandaskan pada firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 3 yang Artinya “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang m u km i n ” Q . S . An - N u r 3 . Is t i la h perkawinan wanita hamil adalah perkawinan seorang wanita yang sedang hamil dengan laiki-laki sedangkan dia tidak dalam status nikah atau masa iddah karena perkawinan y a n g s a h d e n g a n l a k i - l a k i y a n g mengakibatkan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan wanita hamil dalam pendapat para imam mazhab Hanafi, Malik, Syafi'i dan Ahm a d bi n Ham b al, m ereka berbeda pendapat, pada umumnya dikelompokkan kepada dua kelompok pendapata. I m a m Ha n a fi d an I m a m S y a fi' i mengatakanWan i ta h am i l a kib a t z in a bo l eh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain. Sebagaiman pendapat imam Hanafi sebagai berikut “Wanita hamil karena zina it u tidak ada iddahn ya, bahkan boleh mengawininya, tetapi tidak boleh melakukan hubunga n s eks hingga dia melahirkan kandungannya”. Sementara Imam Syafi'i mengatakan “ hubungan seks karena zina itu tidak ada iddahnya, wanita yang hamil karena zina itu boleh dikawini, dan boleh melakukan hubungan seks sekalipun dalam keadaan hamil”.Menurut mereka wanita zina itu tidak di kenaka n k etentu an-ketentuan hu kum perkawinan sebagaimana yang ditetapkan da l am n ikah. Karena iddah itu han y a ditentukan untuk menghargai sperma yang a d a d a l a m k a n d u n g a n is t er i d a l a m perkawinan yang sah. Sperma hasil dari hubungan seks di luar nikah tidak ditetapkan oleh beralasan dengan Al-quran pada surah An-Nur ayat 3 “Laki-laki yang be r z i na t i d a k me n ga wi n i me l a i nk an perempuan yang berjina, atau perempuan musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik”.Menurut Imam H a n afi me s k i pun p e r k a w i n a n w a n i t a h a m i l d a p a t dilangsungkan dengan laki-laki, tetapi dia tidak boleh disetubuhi, sehingga bayi yang dalam kandungan itu lahir. Ini didasarkan 245Aladin, Pernikahan Hamil di Luar Nikah pada sabda Nabi Muhammad SAW yang art i ny a J ang a nl a h k amu me l aku k an hubungan seks terhadap wanita hamil sampai dia Imam Syafi'i perkawinan wanita hamil itu dapat dilangsungkan, dapat pula dilakukan persetubuhan denganya, ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “Bagi dia maskawinya, karena kamu telah meminta kehalalanya untuk mengumpulinyasedang anak itu hamba bagimu”...Memperhatikan imam Syafi'i maka seorang wanita hamil karena hasil melakukan hub u n gan s e k s di luar nikah jika dia melangsungkan perkawinan dengan laki-laki, maka kehamilan itu tidak mempengaruhi dalam perkawinannya. Jika memperhatikan pendapat imam Han a fi , mes k i p un bo l e h wa n i t a ha m i l melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki, tetapi dia dilarang melakukan hubungan seksual. Dilarangnya wanita hamil melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang mengawininya, berarti kehamilanya mem p engaruhi terhadap kelangs u n gan kehidupan rumah tangganya, sebagaimana layaknya orang yang Imam Malik dan Ahmad bin Hambal mengatakanT i d a k b o l e h m e l a n g s u n g k a n perkawinan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki lain sampai dia melahirkan kandungannya. Menurut Imam Malik dan Ahmad bin Hambal sama halnya dengan yang dikawini dalam bentuk zina atau syubhat atau kawin pasid, maka dia harus mensucikan diri dalam waktu yang sama dengan iddah. Untuk m e n d u k u n g p e nd a p a t n y a m e r e k a mengemukakan alasan dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepad Allah dan h a r i a k h i r a t m m e n y i ra m k a n a i r n y a spermanya kepada tanaman orang lain, yakni wanita-wanita tawanan yang hamil, tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat mengumpuli wanita ta wanan perang sampa i menghab iskan istibra'-nya iddah satu kali juga beralasan dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang lainya “Jangan kamu menggauli wanita hamil sampai dia melahirkan dan wanita yang tidak hamil sampai haid satu kali”.Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal mengambil kesimpulan dari kedua hadis tersebut, bahwa wanita hamil tidak boleh dikawini, karena dia perlu iddah. Mereka memberlakukan secara umum, termasuk wanita hamil dari perkawinan yang sahh, juga wanita hamil dari akibat perbuatan d a n y a p e n e n t u a n l a r a n g a n perkawinan wanita hamil tersebut berawal dari pendapat mereka yaitu, wanita hamil karena zina tetap memiliki iddah, maka wanita hamil tidak boleh melangsungkan pe r ka w in a n sa m p a i d i a m e l a h i r k a n kandungannya. Dengan demikian wanita hamil dilarang melangsungkan menurut Imam Ahmad bin Hambal, wanita hamil karena zina harus bertaubat, b a r u dapat m e l a n g s u ngkan p e r k a w i n a n d e n g a n l a k i - l a k i y a n g mengawininya. Pendapat kedua Imam ini dapat dimengerti agar menghindari adanya percampuran keturunan, yaitu keturunan ya ng p unya bibit dan ket urunan yan g mengawini karena itu imam Malik dan Ahmad bin Hanbal memberlakukan iddah secara umu m te r h adap w anita hamil, apakah hamilnya itu karena perkawinan yang sah, ata u kah keh a mi l any a it u a k iba t d a ri hubungan seksual di luar nikah. Dengan demikian perkawinan wanita hamil S t a t u s N a s a b A n a k D a l a m Pernikahan Wanita HamilAd a pu n s ta tu s n a s a b a na k d ar i pernikahan wanita hamil, para imam mazhab berbeda pendapat 1 Para ulama sepakat bahwa anak akibat zina itu tidak dinasabkan kepada ayahnya, tetapi dinasabkan kepada ibunya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid bahwa “ulama telah sepakat bahwa anak akibat zina itu tidak dinasabkan kepada ayahnya, kecuali yang terjadi di zaman jahiliyah”; 2 Imam Syafi'i berpendapat, 246Masalah - Masalah Hukum, Jilid 46 No. 3, Juli 2017, Halaman 239-248 paling cepat umur kehamilanya itu adalah enam bulan, apabila perkawinan telah lebih dari enam bulan, lalu anak lahir, maka anak tersebut mempunyai hubungan nasab kepada suaminya. Sebaliknya apabila kurang dari enam bulan, maka nasab anak tersebut dihubungkan kepada Rusyd mengatakan bahwa Imam Syafi;i berkata “Siapapun yang kawin dengan seorang wanita dan belum mencampurinya atau telah mencampurinya sesudah akad, lalu wanita itu melahirkan anak setelah enam bulan dari waktu terjadinya akad bukan dari waktu terjadinya percampuran itu, maka anak tersebut tidak dipertalikan nasabnya kepada seorang laki-laki yang mengawini, kecuali jika ibu itu melahirkan setelah lebih dari enam tersebut jika diperhatikan dengan pengertian dari perkawinan nikah itu sendiri secara istilah, yaitu nikah adalah akad penghalalan persetubuhan. Oleh karena itu konsekuensinya, jika seorang wanita ternyata hamil sebelum akad dimaksud, maka kehamilan wanita tersebut tidak dihargai, bibit itu dapat milik laki-laki mana saja, sebab itu apabila anak itu lahir, dia tidak memiliki nasab kepada laki-laki ayah, tetapi hanya memiliki nasab kepada ibunya; 3 Imam Hanafi berpendapa t bahwa anak yang dilahirkan oleh wanita hamil dengan laki-laki atau suami, maka hubungan anak tersebut dengan suami ibunya. Dengan demikian menurut imam Hanafi, bahwa setiap anak yang lahir akan dihubungkan nasabnya kep a d a la k i-laki yang m e miliki bibit. Ketentuan ini terlihat dengan sikapnya mengartikan nikah dengan setubuh. Maka ko nsekuensi nya a sal terjadi hubun gan seksual yang m e n g akibatkan la h i r n y a seorang bayi, maka bayi tersebut adalah anak laki-laki pelaku perbuatan zina tersebut. Dengan demikian, bayi yang lahir dari perkawinan wanita hamil itu bukan secara langsung dinasabkan kepada laki-laki yang mengawini ibunya bayi, tetapi dmasabkan kepada mereka yang menuai bibit, artinya bisa pula dinasabkan kepada orang yang bukan mengawini ibu bayi SimpulanBerdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut1. Perbedaan mengenai pernikahan hamil di luar nikah antara KHI dan hukum Islam. Menurut KHI bahwa wanita yang hamil di luar nikah bisa langsung di nikahkan dengan laki-laki yang mengham i l i nya t a n pa m e n u nggu wanita itu melahirkan kandugannya. Sedangkan berdasarkan hukum Islam dalam hal ini pendapat Imam Malik dan Ahmad bin Hambali yang mengatakan tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-l a k i sa m p ai d i a me l a hirkan kandungannya. Perbedaan tersebut ter j adi k a r ena d i pen g a ruhi o leh perbedaan dalil-dalil Al-Qur'an dan H a d i s ya n g d i g u n a k a n d a l a m menafsirkan permasalahan pernikahan hamil di luar nikah. KHI menjelaskan per n ika h an ham i l d i l u ar nik a h berdasarkan dalil Al-Qur'an surat An-nur ayat 3, Mazhab Syafi'i dan Hanafi, pendapat Abu Bakar, Umar dan Ibnu Abb a s . Se d a n gkan H u k um Is l am menggunakan dalil Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 176, surat At-Talaq ayat 4, Mazhab Maliki dan Ahmad bin Hambal. 2. Status hukum pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki laki yang menghamilinya. KHI membolehkan menikahi wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya, menurut hukum Islam status hukum pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya pun terjadi perbedaan pendapat diantara ke empat mazhab. Mazhab Hanafi dan Syafi'i membolehk a n pern i k ahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya. Mazhab M a l ik i d a n H a n b a l i m e l a r a n g pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang yang penulis berikan yaitu1. P e m b a h as a n m e n g e n a i h u k u m 247Aladin, Pernikahan Hamil di Luar Nikah perkawinan akibat hamil di luar nikah sangatlah luas, karena itu diharapkan untuk penelitian selanjutnya akan menghasilkan penelitian yang lebih luas dan mendalam. Pembahsan tersebut agar selalu dicari relevansinya dengan perkembangannya masa kini, agar penelitian tersebut tidak hanya menjadi bahan bacaan namun bisa menjadi rujukan sumber hukum yang Menghadapi perkembangan zaman yang semakin pesat dan terjadinya degradasi moral terutama dikalangan remaja, diharapkan agar para orang tua selalu menanamkan nilai-nilai agama kepada putra putrinya sedini mungkin, se h i n gg a d ap at me mi n i m al is a s i terjadinya perkawinan akibat hamil di luar PUSTAKAAndre Ata Ujan, Filsafat Hukum Membangun Hukum, Membela Keadilan, Kanisius, 2 0 0 9 . O n l i n e h t t p s / / Di akses pada tanggal 3 Juni 2017. Pukul Hasbi. 1978. Hukum-Hukum Fiqih Islam. Jakarta Bulan Bintang hlm. 265Dadang Hermawan dan Sumardjo 2015. Kom p i lasi H u kum I s l am Se b agai Hukum Mate r i i l Pada P e r a d i l a n Agama. Jurnal Yudisia Vol. 6 Nomor 1, J u n i 2 0 1 5 . O n l i n e . file///C/Users/Windows7-ultimate/ Downloads/ Di akses pada tanggal 3 Juni 2017, Pukul Agama RI. 2000. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Bandung Fokusmedia Nasution, Islam; Tentang Relasi Suami dan Istri Hukum Perkawinan I Yogy a k art a AC A DEM I A, d a n Tazzafa, 2004, hlm. Dadan. & Tono, Sidik Ed.1999. Pera d i l a n Agama d an K o m p i lasi Hukum Islam. Yogyakarta UII Press. H l m . 1 . T e r s e d i a p a d a fi l e / / / C / U s e r s / W i n d o w s 7 -ul timate/Downlo ads/1469-4905 Yusuf. 2003. Halal Haram Dalam Islam. Solo Era Intermedia hlm. 214-216Undang-Undang Dasar Negara Republik I n d o n e s i a T a h u n 1 9 4 5 d a n PerubahannyaUndang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1 9 7 4 ten t a n g Perka w i n an. Lembaran Negara Republik Indonesia 1974 Nomor 1Wahbah az-Zuhailii, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu Beirut Dar al Fikr, 1985 VII 148248Masalah - Masalah Hukum, Jilid 46 No. 3, Juli 2017, Halaman 239-248 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Ash-ShiddieqyAsh-Shiddieqy, Hasbi. 1978. Hukum-Hukum Fiqih Islam. Jakarta Bulan Bintang hlm. 265Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Bandung Fokusmedia hlmDepartemen AgamaDepartemen Agama RI. 2000. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Bandung Fokusmedia IaDan TazzafaKhoirudin Nasution, Islam; Tentang Relasi Suami dan Istri Hukum Perkawinan I Yogyakarta ACADEM IA, dan Tazzafa, 2004, hlm. Haram Dalam Islam. Solo Era Intermedia hlmYusuf QardhawiQardhawi, Yusuf. 2003. Halal Haram Dalam Islam. Solo Era Intermedia hlm. 214-216Sidik Ed.1999. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum IslamDadan MuttaqienTonoMuttaqien, Dadan. & Tono, Sidik Ed.1999. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam. Yogyakarta UII Press.
JAKARTA Bagi pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan, syarat nikah harus dipersiapkan sejak jauh hari. Ini karena dokumen persyaratan nikah terbilang cukup banyak.. Prosedur dan syarat nikah di KUA sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 48 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Sponsors Link Menghadapi masalah dalam hidup merupakan sebuah ujian yang harus dilalui, untuk dapat melewatinya perlu kesabaran dan keteguhan hati serta jangan lupa untuk selalu melibatkan Tuhan dalam setiap masalahmu. Salah satu masalah yang diyakini tidak diinginkan oleh satu orangpun, terutama kaum putri di perjalanan hidupnya, yaitu dengan hamil diluar nikah. Masalah hidup ini meninggalkan bekas dengan menanggung malu dan beban moral yang harus dipertanggung jawabkan. Syukur-syukur pihak lelaki mau untuk bertanggungjawab dan menikahi perempuan yang sudah dihamilinya, apabila tidak sungguh berat cobaan yang diderita perempuan tersebut, hal ini yang menjadi suatu beban yang harus ditanggung akibat kesalahannya sendiri. Hamil diluar nikah yang jelas tidak halal dalam suatu ikatan pernikahan ini menjadi banyak polemik permasalah banyak remaja dan anak mudah jaman sekarang. Pada artikel ini akan membahas tentang penjelasan hamil diluar nikah menurut pandangan Katolik dan bagaimana kita harus menyikapinya serta informasi-informasi penting terkait dengan pembahasan kita. Dalam sejarah agama kristen yang terpenting adalah untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan menjalankan amanatnya sesuai dengan hukum kasih dalam Alkitab. Pengampunan hamil diluar nikah Hubungan seks yang terjadi tanpa ada ikatan pernikahan yang sah merupakan suatu bentuk perjinahan apapun alasannya. Hal ini juga berlaku untuk kedua individu yang memang saling mencintai dan sedang memiliki rencana untuk menikah secara resmi, tetap saja belum memiliki ikatan pernikahan yang sah menurut negara dan agama. Konteks yang akan kita bahas adalah konteks kehamilan diluar nikah yang seperti itu. Pada faktanya mungkin ada kehamilan diluar nikah yang memang disebabkan oleh adanya pemerkosaan, tetapi tetap saja hal itu merupakan perbuatan perjinahan yang memang harus dihindari. Perjinahan memang merupakan perbuatan dosa, adanya dosa akan membuat kemarahan Allah, karena dengan melakukan dosa hal itu berarti sama dengan penolakan dan penghinaan terhadap Allah. Teruntuk umat Katolik di dalam melakukan perjinahan dengan kondisi sadar maka secara tidak langsung telah menolak adanya Allah dan telah menghina adanya keselamatan yang telah diberikan kepadanya. Berikut beberapa penjelasannya Dimungkinkan ia belum betul-betul disadarkan oleh Roh Kudus, sehingga adanya dosa yang tetap berkuasa dengan penuh di dalam hidupnya. Tetapi hal ini juga bisa terjadi dikarenakan tidak ada jalan hidup dengan kebenaran yang sesungguhnya. Artinya, sebagai orang-orang Kristen ia tidak akan berjalan di dalam pimpinan Roh Kudus sehingga dengan itu kuasa dosa yang terasa oleh orang Kristen tidak akan berjalan dalam sebuah pimpinan Roh Kudus, maka dari itu kuasa dari dosa yang ada dalam daging akan tetap menguasai dirinya Gal 516. alkitab telah menyaksikan betapa anak-anak Tuhan yang telah memperlihatkan sifat baik juga dapat terjatuh di dalam dosa perjinahan. Maka dari itu semua pasti ada sebabnya, Paulus telah mengingatkan agar kita selalu “mengerjakan keselamatan yang sudah dianugerahkan itu dengan takut dan gentar” Fil 212. Sesungguhkan sebesar apapun dosa dan sebagaimanapun buruknya yang terjadi, apabila ada keinginan untuk bertobat dengan sungguh-sungguh dan hati yang kuat maka dosa akan terampuni. Meskipun demikian janganlah kalian meremehkan adanya Roh Kudus. Adanya surat Ibrani telah mengingatkan mereka yang telah terus menerus telah mempermainkan Roh Kudus Ibrani 64-6 dapat dimungkinkan Tuhan tidak akan mengampuni dosa-dosa kita lagi. Maka dari itu janganlah mencoba untuk dengan sengaja berbuat dosa. Penjelasan bagi mereka yang telah berjinah sampai dengan mengalami adanya kehamilan. Pertanyaannya, apakah mereka masih bisa untuk diberkati dalam gereja ? jawaban dari pertanyaan ini akan bergantung pada kondisi mereka. Apabila mereka memang ingin bertobat dan kembali mengsucikan diri dan tidak mengulangi kesalahan yang telah dibuat maka bisa untuk tetap diberkati pernikahannya di dalam gereja. Pertobatan yang mereka lakukan harus memang terbukti dan terlihat melalui adanya ujian dengan waktu yang relatif lama. Merkea harus menunggu dari 2-3 bulan seelahnya dengan resiko kehamilan akan segera terlihat. Hal ini memang resiko yang harus diambil, sehingga memang tidak bisa terburu-buru untuk dapat diberkati di Gereja. Pada kenyataannya kehamilan diluar nikah ini merupakan hasil yang dilakukan dari orang0orang yang melakukan perjinahan dengan individu-individu yang dalam kehidupan aslinya, kehidupan rohani mereka tidak beres dan kepribadian yang belum mengerti dan kurang dewasa dalam bertindak dan tidak berfikir dahulu sebelum bertindak. Hal ini mengajarkan tentang manfaat berdoa bagi orang kristen untuk menjadikan tujuan hidup orang kristen. Demikian penjelasan mengenai hamil diluar nikah menurut pandangan Katolik. Keadaan seperti ini bukanlah keadaan yang menyenangkan, sehingga untuk remaja dan siapapun yang telah membaca artikel ini dan belum sampai pada tahap ini maka berhati-hatilah jangan sampai anda akan menyesali tindakan anda sesudahnya. Teruntuk anda yang sedang mengalami hal buruk ini selalu percaya bahwa Tuhan akan selalu memberikan pengampunan bagi umatNya, tetap banyak berdoa dan melancarkan ibadah untuk selalu diberikan petunjuk dan yang terpenting jangan lupa untuk bertobat untuk dapat memperbaiki diri demi mencerminkan karakter Kristen sejati. Jangan putus ada percaya bahwa esok hari-hari baik akan datang dikemudian hari. Semoga bermanfaat dan terima kasih. ajaran alkitab, hamil diluar nikah, pandangan katolik ← Previous Next →
. 152 411 402 31 442 318 419 168
hamil diluar nikah menurut katolik